Seorang perempuan
muda terlihat tengah bergoyang di atas sebuah panggung hiburan. Gemerlap lampu
memperjelas sosok si perempuan yang sedang menyanyi mengikuti alur lagu. Pada
saat itu, dia sedang membawakan sebuah lagu reagge yang telah diaransemen ke
dalam genre dangdut. Si perempuan tersebut bergoyang begitu eksotik meliuk
kesana kemari di antara para pemusik laki-laki yang mengiringinya. Dengan
pakaian serba minim yang ia kenakan, sesekali Si perempuan itu menggoda salah
satu pemusik dengan menggoyangkan pinggulnya ke arah si laki-laki. Di sisi lain panggung, para penonton yang
mayoritas laki-laki berjoget dengan asiknya. Walaupun kondisinya mereka harus
saling berjubel antara satu penonton dengan yang lainnya, hal itu sepertinya
tidak mengurungkan niat mereka untuk menikmati penampilan si penyanyi perempuan.
Itulah gambaran yang bisa saya dapat setelah saya melihat sebuah video milik
teman saya. Lagi-lagi sosok perempuan menjadi sebuah objek tersendiri di ranah
hiburan era masa kini. Perempuan seakan-akan
menjadi sebuah bentuk komoditi baru yang memiliki daya jual yang tinggi
di pasar ekonomi. Melebihi harga bawang yang sekarang ini melambung tinggi. Dua
fenomena ini menimbulkan sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik di benak
saya. ”Bagaimana dangdutmu kalau tanpa perempuan serta bagaimanakah dapurmu
kalau tanpa bawang?”. Kedua pertanyaan itu seketika membuat saya berfikir untuk
membuat sebuah jawaban dari pertanyaan saya sendiri.
Kedudukan perempuan dan bawang
Akhir-akhir ini
saya sering melihat beberapa stasiun televisi baik swasta maupun lokal
menayangkan berita yang sama. Harga bawang di pasar kian hari semakin meroket
naik. Hal itu cukup membuat geram presiden kita. Harga bawang merah saja
meroket sampai 65.000 rupiah perkilo. Sebuah keadaan yang cukup membuat kelimpungan
para ibu rumah tangga. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya sebuah makanan jika
dimasak tanpa bawang. Bawang menjadi sebuah mantra ajaib untuk makanan. Dalam
dunia perkulineran, bawang dijadikan sebagai peningkat selera makan dan bahan
penyedap yang membuat rasa makanan menjadi lebih mantab. Sekilas hal itu
menjadi ambivalen dengan adanya perempuan di tengah dunia perdangdutan di
Indonesia. Setelah era-Nya Rhoma Irama, dunia dangdut lebih didominasi dengan
para penyanyi-penyanyi perempuan. Sama halnya dengan bawang, perempuan menjadi sebuah mantra ajaib yang menjadikan
dangdut yang awalnya dianggap sebelah mata dan berselera rendah kini naik
mencapai ke tingkat yang terhormat di dunia musik di Indonesia. perempuan
bagaikan penyedap bagi musik dangdut sehingga masyarakat lebih berselera dalam
menikmati musik dangdut. Tetapi apakah antara perempuan dan bawang dapat disejajarkan.
Bukankan sebenarnya kedua-duanya merupakan dua hal yang benar-benar berbeda.
Kedudukan bawang
sebagai objek (barang) jelas sangat berbeda dengan kedudukan perempuan sebagai
subjek. Sudah kodratnya manusia di dunia difungsikan tuhan untuk menjadi subjek (Pelaku). Dan perempuan sendiri
merupakan bagian dari manusia. Lalu bagaimanakah mengenai kodrat tersebut
apabila fungsi subjek beralih menjadi objek. Seperti halnya yang terjadi pada perempuan
dalam dunia dangdut. Hal ini sebenarnya bukan fenomena baru lagi. Wanita ibarat
sebuah barang komoditi (objek) yang mampu memikat para konsumen dangdut.
Bagaimana tidak, seringkali dangdut hanya menjual seksualitas perempuan semata.
Dalam hal ini perempuan telah beralih fungsi dari subjek menjadi objek. Semakin
hari, seksualitas wanita telah diselewengkan sebagaimana kodrat dan seharusnya.
Wacana bahwa perempuan adalah penyedap untuk musik dangdut tadi tidak lepas
dari konstruksi budaya baru yang kini terbangun di Indonesia. Di luar kemampuan
menyanyi, para penyanyi perempuan dituntut pula untuk berpenampilan menarik. Sehingga,
menghasilkan kesimpulan bahwa seorang penyanyi dangdut (perempuan) harus
mempunyai selling point yaitu
penampilan yang menarik dan suara yang bagus. Kadang point yang kedua tadi
sudah tidak begitu dibutuhkan. Hal itu bisa dilihat dari kenyataan yang ada
bahwa banyak sekali penyanyi-penyayi dangdut yang hanya menjual penampilan
semata. Disadari atau tidak telah terjadi pengalihan konsumen yang seharusnya
dangdut itu dinikmati oleh masyarakat yang dalam hal ini adalah sekelompok
manusia yang terdiri dari perempuan dan laki-laki menjadi seakan-akan bahwa
dangdut hanya diperuntukkan untuk laki-laki saja. Seksualitas para penyanyi dangdut dijual dengan alih-alih
menyanyi diarahkan untuk kepentingan para konsumen laki-laki. Pengarahan itu
ditandai dengan adanya goyangan yang menjadi ciri khas dangdut kian hari semakin
menjurus ke vulgar. Kadang acap kali kevulgarannya melampauhi batas norma
kesopanan. Tidak hanya itu, beberapa penyanyi dangdut perempuan mengenakan
pakaian yang serba minim sehingga secara otomatis hal tersebut akan
memperlihatkan lekuk tubuh mereka. Dengan memperhatikan hal tersebut, saya
melihat adanya konstruksi baru yang terbuat dalam budaya kita. Penghargaan
terhadap martabat perempuan semakin berkurang.
Indonesia yang
awalnya dikenal dengan budaya ketimuran lama-lama bergeser. Dalam budaya
ketimuran, perempuan merupakan subjek yang dimuliakan. Sebagai tonggak awal
kehidupan yang diwakili oleh sosok ibu. Budaya ketimuran sendiri sangat
menghargai perempuan sesuai dengan martabatnya. Lalu, apakah dengan menjual
seksualitas perempuan bisa dibilang
menghargai sesuai martabatnya. Tentunya kita tidak mau kalau bangsa kita
dinilai sebagai bangsa yang tidak bisa menghargai perempuan. Ikhlaskah kita kalau
perempuan-perempuan Indonesia disejajarkan sebagai objek selayaknya bawang.
Perempuan jauh memiliki harga melebihi harga bawang yang saat ini bernilai
sampai 65.000 rupiah perkilo. Harga itu adalah penghargaan dan penghormatan
yang tinggi dari kita selaku manusia terhadap martabatnya. Walaupun tidak
dipungkiri bahwa bawang dan perempuan sama-sama merupakan penyedap alami yang
dimiliki dunia. Tanpa bawang dapur akan tidak lagi memberi aroma sedap kepada
makanannya. Sedangkan tanpa perempuan dangdut pun hanya akan menjadi semangkok
sop yang dimasak tanpa bawang. Tentunya tidak akan sedap bukan ? .