Sabtu, 13 April 2013

Di Balik Gemulai si Ledhek


Masyarakat Jawa sebagaimana masyarakat di Indonesia pada umumnya, adalah sebuah masyarakat yang dilatarbelakangi oleh budaya dan adat istiadat yang kuat. Budaya dan adat istiadat tersebut telah mengakar kuat ke dalam berbagai sendi-sendi kehidupan. Dalam berkehidupan, masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari budaya berkesenian. Berbagai bentuk ritus dan kebiasaan orang Jawa seringkali menyelipkan unsur-unsur seni ke dalamnya. Hal tersebut pun dapat menjadikan sebuah corak kekhasan bagi masing-masing daerah. Karena setiap daerah mempunyai wujud kesenian yang berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya. Salah satu bentuk kesenian Jawa yang sampai saat ini masih bertahan adalah Tayub. Kesenian ini tumbuh dan berkembang di beberapa daerah di Jawa. Setiap daerah pun mempunyai nama masing-masing terhadap kesenian tersebut. Di daerah Purwodadi, Blora, dan Tuban dikenal dengan istilah tayub. Lain halnya dengan di Banyumas yang lebih dikenal dengan istilah Lenggeran. Di tanah pasundan dikenal pula dengan nama jaipongan. Pada intinya Kesenian tersebut adalah kesenian yang menampilkan sosok penari wanita sebagai objek utama hiburan pertunjukan.

Wanita dalam kesenian tayub
Dalam era modernisasi sekarang ini tentunya sangat sulit mempertahankan sesuatu yang telah diberi merek tradisi. Hal itu pula yang dialami oleh kesenian tradisi seperti Tayub. Untungnya tayub masih mampu bertahan melawan kesenian modern yang dengan pelan tapi pasti menyusup masuk. Hal itu karena tayub mempunyai daya tarik tersendiri daripada kesenian tradisi lain. Meskipun demikian sering kali terdengar kesan-kesan yang kurang baik dari dalam masyarakat tentang kesenian Tayub. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan keberadaan wanita di dalamnya.

Tayub merupakan tari hiburan yang  disajikan oleh para penari ronggeng, lengger, atau ledhek. Penari tayub atau ledhek dipandang memiliki perilaku yang kurang terhormat, sehingga istilah ronggeng atau ledhek selalu diasosiasikan sama halnya dengan pelacur.  Sejak awal tayub sering dikonotasikan sebagai kesenian yang selalu diwarnai kemesuman, mabuk-mabukan dan perbuatan tercela lainnya. Nyawer atau ngibing juga merupakan agenda yang tidak ketinggalan dalam kesenian tayub. Saat ngibing para penonton laki-laki boleh memberi uang kepada para si Ledhek yang mereka sukai. Seringkali si pengibing seperti disengaja bertindak tidak sopan kepada si Ledhek. Tentunya hal itu bukanlah budaya yang baik secara moral. Karena keseluruhan hal tersebutlah timbul pencitraan tidak baik terhadap para penari wanita di kesenian tayub. Celakanya anggapan masyarakat tentang tayub tidaklah selalu salah, bahkan kadang-kadang ada pentas tayub tanpa bau alkohol diibaratkan seperti sayur kurang garam, kurang lengkap dan kurang menarik. Dalam keadaan tidak sadar atau pura-pura tidak sadar para Pengibing seringkali melakukan hal-hal di luar norma susila kepada si Ledhek. Akibatnya jelas menambah citra negatif wanita dalam tayub.

Gambaran seperti itu Masih banyak dijumpai di beberapa daerah di Blora. Wanita bagaikan magnet tersendiri bagi para penikmat tayub. Wanita seperti ditempatkan ke dalam objek pertunjukan dan penghibur para lelaki. Sungguh ironis memang, tetapi memang begitulah adanya. Seorang Ledhek dituntut untuk memberikan hiburan yang sempurna melalui penampilan mereka. Penampilan itu diwakili oleh tarian yang luwes, suara yang bagus, dan tentu saja paras yang ayu. Para Ledhek seringkali merelakan dirinya untuk dilecehkan para pengibing yang tidak bermoral. Tentunya hal tersebut bukanlah tidak beralasan. Seorang pelaku kesenian tradisi tentunya mengalami masa yang cukup sulit di era seperti saat ini. Fenomena seperti ini sering dialami oleh para Ledhek dalam kesenian tayub. Kewajiban untuk bertindak sebagai pelaku seni yang profesional mengakibatkan mereka merelakan harkat dan martabatnya terinjak-injak oleh para Pengibing yang tidak tahu diri. Para Ledhek tidak sadar, kalau sebenarnya diberdayakan, dilecehkan martabatnya sebagai kaum perempuan. Sama halnya para Ledhek dijadikan sebagai obyek pemuas laki-laki.

Lagi-lagi seksualitas dijadikan komoditi yang mempunyai harga tinggi. Hal inilah sebenarnya yang harus mendapat perhatian lebih dari segala pihak baik dari pelaku seni, maupun luar lingkup kesenian itu sendiri. Hendaknya para Ledhek pun berupaya untuk memperbaiki citra terhadap dirinya. Salah satu upaya yang bisa mengangkat harkat dan martabat atau citra seorang penari tayub  itu sendiri, yaitu dalam menjalankan tugasnya harus waspada dan membatasi diri, dan yang lebih penting adalah mempertebal rasa keimanan. Hal yang berkaitan dengan penampilan di atas pentas adalah kostum, hendaknya berpakaian yang sopan, tertutup namun tetap indah dan menarik, misalnya jangan menggunakan kostum yang dadanya terbuka, namun bisa diganti dengan kebaya yang tertutup lengannya. Selain itu, para penonton pun harus memperbaiki perilaku dan sikap saat menonton. Alangkah baiknya kalau sebagai orang Jawa pun harus tetap Njawani. Orang Jawa yang Njawani adalah orang yang mengerti norma serta tata susila dalam bersikap. Apalagi dalam konteks ini, wanita merupakan bagian dari pelaku kebudayaan yang harus dihormati serta ditempatkan di tempat yang seharusnya berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar