Sabtu, 13 April 2013

SAAT WANITA DAN BAWANG SEBAGAI PENYEDAP


Seorang perempuan muda terlihat tengah bergoyang di atas sebuah panggung hiburan. Gemerlap lampu memperjelas sosok si perempuan yang sedang menyanyi mengikuti alur lagu. Pada saat itu, dia sedang membawakan sebuah lagu reagge yang telah diaransemen ke dalam genre dangdut. Si perempuan tersebut bergoyang begitu eksotik meliuk kesana kemari di antara para pemusik laki-laki yang mengiringinya. Dengan pakaian serba minim yang ia kenakan, sesekali Si perempuan itu menggoda salah satu pemusik dengan menggoyangkan pinggulnya ke arah si laki-laki.  Di sisi lain panggung, para penonton yang mayoritas laki-laki berjoget dengan asiknya. Walaupun kondisinya mereka harus saling berjubel antara satu penonton dengan yang lainnya, hal itu sepertinya tidak mengurungkan niat mereka untuk menikmati penampilan si penyanyi perempuan. Itulah gambaran yang bisa saya dapat setelah saya melihat sebuah video milik teman saya. Lagi-lagi sosok perempuan menjadi sebuah objek tersendiri di ranah hiburan era masa kini. Perempuan seakan-akan  menjadi sebuah bentuk komoditi baru yang memiliki daya jual yang tinggi di pasar ekonomi. Melebihi harga bawang yang sekarang ini melambung tinggi. Dua fenomena ini menimbulkan sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik di benak saya. ”Bagaimana dangdutmu kalau tanpa perempuan serta bagaimanakah dapurmu kalau tanpa bawang?”. Kedua pertanyaan itu seketika membuat saya berfikir untuk membuat sebuah jawaban dari pertanyaan saya sendiri.
Kedudukan perempuan dan bawang
Akhir-akhir ini saya sering melihat beberapa stasiun televisi baik swasta maupun lokal menayangkan berita yang sama. Harga bawang di pasar kian hari semakin meroket naik. Hal itu cukup membuat geram presiden kita. Harga bawang merah saja meroket sampai 65.000 rupiah perkilo. Sebuah keadaan yang cukup membuat kelimpungan para ibu rumah tangga. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya sebuah makanan jika dimasak tanpa bawang. Bawang menjadi sebuah mantra ajaib untuk makanan. Dalam dunia perkulineran, bawang dijadikan sebagai peningkat selera makan dan bahan penyedap yang membuat rasa makanan menjadi lebih mantab. Sekilas hal itu menjadi ambivalen dengan adanya perempuan di tengah dunia perdangdutan di Indonesia. Setelah era-Nya Rhoma Irama, dunia dangdut lebih didominasi dengan para penyanyi-penyanyi perempuan. Sama halnya dengan bawang, perempuan  menjadi sebuah mantra ajaib yang menjadikan dangdut yang awalnya dianggap sebelah mata dan berselera rendah kini naik mencapai ke tingkat yang terhormat di dunia musik di Indonesia. perempuan bagaikan penyedap bagi musik dangdut sehingga masyarakat lebih berselera dalam menikmati musik dangdut. Tetapi apakah antara perempuan dan bawang dapat disejajarkan. Bukankan sebenarnya kedua-duanya merupakan dua hal yang benar-benar berbeda.
Kedudukan bawang sebagai objek (barang) jelas sangat berbeda dengan kedudukan perempuan sebagai subjek. Sudah kodratnya manusia di dunia difungsikan tuhan untuk  menjadi subjek (Pelaku). Dan perempuan sendiri merupakan bagian dari manusia. Lalu bagaimanakah mengenai kodrat tersebut apabila fungsi subjek beralih menjadi objek. Seperti halnya yang terjadi pada perempuan dalam dunia dangdut. Hal ini sebenarnya bukan fenomena baru lagi. Wanita ibarat sebuah barang komoditi (objek) yang mampu memikat para konsumen dangdut. Bagaimana tidak, seringkali dangdut hanya menjual seksualitas perempuan semata. Dalam hal ini perempuan telah beralih fungsi dari subjek menjadi objek. Semakin hari, seksualitas wanita telah diselewengkan sebagaimana kodrat dan seharusnya. Wacana bahwa perempuan adalah penyedap untuk musik dangdut tadi tidak lepas dari konstruksi budaya baru yang kini terbangun di Indonesia. Di luar kemampuan menyanyi, para penyanyi perempuan dituntut pula untuk berpenampilan menarik. Sehingga, menghasilkan kesimpulan bahwa seorang penyanyi dangdut (perempuan) harus mempunyai selling point yaitu penampilan yang menarik dan suara yang bagus. Kadang point yang kedua tadi sudah tidak begitu dibutuhkan. Hal itu bisa dilihat dari kenyataan yang ada bahwa banyak sekali penyanyi-penyayi dangdut yang hanya menjual penampilan semata. Disadari atau tidak telah terjadi pengalihan konsumen yang seharusnya dangdut itu dinikmati oleh masyarakat yang dalam hal ini adalah sekelompok manusia yang terdiri dari perempuan dan laki-laki menjadi seakan-akan bahwa dangdut hanya diperuntukkan untuk laki-laki saja. Seksualitas  para penyanyi dangdut dijual dengan alih-alih menyanyi diarahkan untuk kepentingan para konsumen laki-laki. Pengarahan itu ditandai dengan adanya goyangan yang menjadi ciri khas dangdut kian hari semakin menjurus ke vulgar. Kadang acap kali kevulgarannya melampauhi batas norma kesopanan. Tidak hanya itu, beberapa penyanyi dangdut perempuan mengenakan pakaian yang serba minim sehingga secara otomatis hal tersebut akan memperlihatkan lekuk tubuh mereka. Dengan memperhatikan hal tersebut, saya melihat adanya konstruksi baru yang terbuat dalam budaya kita. Penghargaan terhadap martabat perempuan semakin berkurang.
Indonesia yang awalnya dikenal dengan budaya ketimuran lama-lama bergeser. Dalam budaya ketimuran, perempuan merupakan subjek yang dimuliakan. Sebagai tonggak awal kehidupan yang diwakili oleh sosok ibu. Budaya ketimuran sendiri sangat menghargai perempuan sesuai dengan martabatnya. Lalu, apakah dengan menjual seksualitas perempuan bisa dibilang  menghargai sesuai martabatnya. Tentunya kita tidak mau kalau bangsa kita dinilai sebagai bangsa yang tidak bisa menghargai perempuan. Ikhlaskah kita kalau perempuan-perempuan Indonesia disejajarkan sebagai objek selayaknya bawang. Perempuan jauh memiliki harga melebihi harga bawang yang saat ini bernilai sampai 65.000 rupiah perkilo. Harga itu adalah penghargaan dan penghormatan yang tinggi dari kita selaku manusia terhadap martabatnya. Walaupun tidak dipungkiri bahwa bawang dan perempuan sama-sama merupakan penyedap alami yang dimiliki dunia. Tanpa bawang dapur akan tidak lagi memberi aroma sedap kepada makanannya. Sedangkan tanpa perempuan dangdut pun hanya akan menjadi semangkok sop yang dimasak tanpa bawang. Tentunya tidak akan sedap bukan ? .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar